Otomasi Dan Kapitalisme: Kapankah Masa Depan Itu Tiba?

Hugo Robles – Southampton Marxists

Sudah 17 tahun sejak kita memasuki “milenium baru”, era yang dibayangkan oleh para pemikir hebat Abad ke 20 akan menjadi zaman kesejahteraan dan kenyamanan bagi umat manusia. Nyatanya, jauh dari utopia teknologi yang mereka bayangkan, kini kehidupan kita justru makin mendekati mimpi buruk dengan ketimpangan yang luar biasa dan paradoks kemiskinan di tengah keberlimpahan. Dalam tulisan ini, Hugo Robles dari Southampton Marxists menjelaskan tentang kontradiksi dari fenomena otomasi di bawah kapitalisme.

Mengapa “Masa Depan” itu Tak Kunjung Tiba?

Setelah terjadi lompatan-lompatan besar dalam sains dan teknologi yang dibawa oleh revolusi industri, dan berbagai penemuan serta buah pemikiran yang lebih impresif pada era pasca perang dunia kedua, banyak yang melihat perkembangan-perkembangan ini sebagai awal dari suatu proses yang akan berujung pada kehidupan umat manusia yang lebih santai, nyaman, dan tercukupi seluruh kebutuhannya lewat berbagai penemuan.

Kota-kota agung dengan langit-langit tertutup dan trotoar otomatis, perjalanan ke luar angkasa, asisten robot pribadi, dan – sesuatu yang lebih sederhana – 15 jam kerja; semuanya ini bukanlah sekedar hasil imajinasi naif seorang anak yang baru saja membaca novel fiksi ilmiah, melainkan prediksi yang dibuat oleh berbagai ilmuwan dan pemikir politik yang terpelajar. Mereka melihat potensi dari berbagai teknologi yang berkembang. Tetapi, tanpa sebuah perspektif Marxis, mereka tidak menyadari pentingnya peran organisasi ekonomi-politik masyarakat dalam membentuk perkembangan dan implementasi teknologi.

Sebagai hasilnya, prediksi-prediksi yang sebenarnya masuk akal secara teknis ini sebagian besar dilandaskan pada asumsi bahwa teknologi baru kelak akan diterapkan secara rasional untuk memaksimalkan kebahagiaan masyarakat secara umum; atau bahwasannya otomasi akan – secara bertahap – mengurangi jumlah kerja yang diperlukan dalam masyarakat, dan sebagai dampaknya, kebutuhan untuk bekerja itu sendiri.

Jika kita ingin memahami mengapa asumsi-asumsi ini pada akhirnya tidak terbukti, kita harus berpaling pada Marxisme. Marx menulis secara mendalam mengenai kapitalisme dan teknologi, secara khusus mengenai otomasi dan pertanyaan mengapa perkembangan teknologi tidak dapat diterapkan secara rasional untuk keuntungan semua pihak. Analisis Marx, sederhananya, dapat dirangkum ke dalam satu kalimat: motif keuntungan (the profit motive).

Otomasi dan Teori Nilai Kerja

Kerja (labour) adalah rangkaian aksi yang diterapkan, oleh seorang subjek yang sadar, terhadap alat-alat produksi. Karenanya, penerapan kerja menjadi sumber dari semua nilai yang baru diciptakan. Kerja yang tidak dibayar dari kelas pekerja – sisa nilai yang melampaui apa yang dibayarkan kembali pada pekerja dalam bentuk upah – berikutnya disebut sebagai nilai surplus. Dan dari nilai surplus inilah para kapitalis memperoleh profit-nya.

Robot dan mesin merupakan bagian dari alat-alat produksi; mereka tidak menciptakan nilai baru, melainkan melambangkan nilai yang sudah ada – kerja masa lalu yang telah menubuh – yang lalu dipindahkan ke produk yang baru dalam proses produksi. Konsekuensinya, robot dan segala permesinan tidak memiliki kemampuan menciptakan nilai. Mereka hanya memungkinkan manusia menciptakan nilai surplus dengan efisiensi luar biasa yang tak pernah terbayangkan pada abad-abad sebelumnya. Ini juga membuat mereka menarik bagi para kapitalis sebagai cara untuk meningkatkan produktivitas, mengurangi waktu kerja yang dibutuhkan untuk memproduksi komoditas, dan mengalahkan rivalnya dalam persaingan dagang.

Sebagaimana ditulis Karl Marx dalam karya utamanya, Kapital:

“Seperti segala instrumen lainnya untuk meningkatkan produktivitas kerja, permesinan ditujukan untuk memurahkan harga komoditas, dan, dengan memendekkan bagian hari kerja dimana buruh bekerja untuk dirinya sendiri, memanjangkan bagian sisanya, yang ia berikan untuk sang kapitalis dengan cuma-cuma. Mesin adalah perangkat untuk menciptakan nilai surplus.”

Jika Anda, sebagai seorang kapitalis, dapat membuat buruh memproduksi lebih banyak komoditas dalam waktu yang lebih sedikit, namun masih mengontrak mereka dengan upah dan waktu kerja yang sama, maka Anda akan mendapatkan profit yang berlimpah; terutama karena Anda dapat memecat sebagian buruh kapan saja, menggantikan mereka dengan mesin.

Akan tetapi apa yang diperlukan bagi seorang kapitalis – meningkatkan profit dengan berinvestasi pada mesin dan mengurangi biaya kerja – akan menjadi perlu bagi kapitalis lainnya juga, membuat penggunaan mesin menjadi lebih umum. Ini berarti pengurangan bukan hanya waktu kerja yang dibutuhkan suatu perusahaan tunggal untuk menghasilkan komoditas tertentu, tetapi waktu kerja yang diperlukan secara sosial (socially necessary labour time / SNLT): waktu kerja rata-rata yang diperlukan dalam sektor industri tertentu, sesuai dengan tingkat produktivitas umum dalam industri tersebut.

Hasilnya, secara keseluruhan kapitalisme akan membunuh sang angsa yang bertelur emas. Seperti dijelaskan sebelumnya, hanyalah kerja manusia yang akan menghasilkan nilai baru, dan juga nilai surplus. Bila kerja manusia digantikan oleh mesin, maka sumber dari profit kapitalis akan hilang. Pada saat yang bersamaan, upah dari kelas pekerjalah yang sebagian besar membentuk pasar untuk segala komoditas yang diproduksi kapitalisme. Dan jika para buruh akhirnya menganggur karena otomasi, maka siapa yang akan membeli segala komoditas yang diproduksi?

Sejarah Otomasi

Pada masa-masa awal kapitalisme, proses otomasi sendiri sebenarnya berperan sangat progresif: sains dan teknologi berkembang dengan sangat cepat, memungkinkan barang-barang untuk diproduksi secara murah, efisien, dan seragam, dengan upaya yang semakin sedikit diperlukan dari pekerja.

Di saat yang bersamaan, kemajuan yang dihasilkan ini juga bersifat kontradiktif, merefleksikan sifat kontradiktif dari kapitalisme. Ya, otomasi memang mengurangi keperluan akan pekerja dalam suatu industri – tetapi sembari menghancurkan lapangan kerja dalam prosesnya. Ketimbang menikmati keuntungan dari produktivitas dan efisiensi yang lebih tinggi, pekerja malah dipecat, atau diancam akan dipecat agar mereka terpaksa menerima tingkat eksploitasi yang lebih tinggi.

Inilah alasan mengapa sepanjang sejarah Anda melihat perkembangan mesin justru dibarengi dengan perlawanan, ketakutan, amarah, dan bahkan sabotase. Perkembangan yang meningkatkan daya produksi masyarakat lewat otomasi bukanlah perkembangan yang dapat dikendalikan oleh para pekerja. Ketimbang dirasakan oleh para buruh, keuntungan dari perkembangan ini hanya dirasakan oleh para kapitalis, dengan menumbalkan buruh tentunya.

Otomasi di Abad ke 21

Hari ini, sebagaimana pada jamannya Marx, kita melihat bagaimana penerapan otomasi dalam produksi mengikuti suatu logika yang serupa: logika dari kapital. Kapitalis tidak akan selalu berinvestasi pada teknologi, permesinan, atau piranti lunak yang baru untuk meningkatkan produktivitas. Hal-hal ini hanya akan dilakukan bila investasi dapat mengurangi ongkos produksi dan meningkatkan profit; ketika mesin itu sendiri lebih murah dari pekerja yang akan digantikannya. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hal ini: kekuatan dari pergerakan kelas pekerja, ketersediaan suplai pekerja, biaya permesinan yang baru, dan sebagainya.

Embed from Getty Images

Orang-orang yang paling terancam kehilangan pekerjaan akibat otomasi bukanlah para buruh pakaian tereksploitasi di Bangladesh, misalnya, melainkan justru para buruh di negara kapitalis maju. Kasir, pengemudi mobil, kereta, atau bis, akuntan, operator call center, atau bahkan penulis, suster, dan pengacara: semua profesi ini semakin terancam dengan fenomena yang oleh para ekonom borjuis disebut sebagai “pengangguran teknologis”. Dan sakitnya, peningkatan pengangguran akibat teknologi akan semakin membengkakkan jumlah “tenaga kerja cadangan”, memaksa pekerja yang masih bertahan di segala sektor untuk menerima ekspoitasi lebih tinggi dibandingkan alternatifnya yang lebih buruk sebagai pengangguran.

Meskipun setiap perusahaan individual (atau sebetulnya, para pemiliknya) bisa mendapat keuntungan dari pengurangan pekerja akibat teknologi, keuntungan ini lama-lama hilang sejalan dengan makin umumnya tendensi ini berlangsung. Dengan makin sedikit buruh yang dipekerjakan untuk membuat komoditas yang makin banyak, krisis overproduksi yang terjadi hanya akan makin diperparah. Akan tetapi dari perspektif para bos secara individu, inilah cara untuk bertahan agar tetap kompetitif di dalam krisis.

Jadi inilah yang dapat ditawarkan otomasi pada kita di bawah kapitalisme: krisis dan pengangguran. Setidaknya pada era Marx hidup, fenomena krisis dan pengangguran masih diikuti dengan perkembangan daya produksi secara umum dalam masyarakat. Akan tetapi, pada hari ini, perkembangan umum ini telah mencapai stagnasi. Stagnasi atau kemacetan ini bukan disebabkan oleh permasalahan teknis, melainkan masalah yang dilahirkan oleh tata masyarakat kapitalisme yang kuno nan kacau.

Dunia impian yang ditawarkan pada kita oleh teknologi modern adalah dunia dengan kelimpahan, dunia dimana tiap orang dapat mengakses perumahan, makanan, layanan kesehatan yang berkualitas, dan bahkan barang-barang mewah. Sayangnya, dunia sesungguhnya yang ada didepan mata kita hanyalah sebuah bayangan kelabu dari dunia impian ini.

Masih Inginkah “Masa Depan” yang Dijanjikan itu Tercapai? Berjuanglah untuk Sosialisme!

Ketika para pemikir masa depan dari awal abad ke 20 dan sebelumnya berpikir soal “masa depan”, mereka membayangkan dunia penuh kelimpahan seperti yang dibicarakan oleh kaum sosialis. Bila saja sejarah berjalan sesuai dengan visi utopis mereka, kita mungkin sudah hidup dalam dunia impian seperti itu pada saat ini. Namun ternyata kita tidak hidup di sana – bukan karena para pemikir itu terlalu optimis soal kemajuan teknologi, melainkan karena mereka kurang realistis seputar ketidakmampuan kapitalisme untuk membagikan hasil keuntungan dari perkembangan teknologi.

Tidaklah sulit untuk membayangkan sebuah dunia dimana sebagian besar kekuatan produktif masyarakat digunakan untuk keuntungan semua orang. Kita sudah dapat melihat potensi yang sangat besar disekitar kita. Perkembangan teknologi informasi membuat sangat mudah untuk menciptakan dan mendistribusikan apa yang kini disebut oleh para lintah kapitalis sebagai “properti intelektual” mereka. Perkembangan teknologi cetak tiga dimensi (3D printing) juga memberikan gambaran menarik akan apa yang dapat dicapai oleh teknologi dan teknik produksi modern, memungkinkan tersedianya produk-produk terspesialisasi dan kompleks untuk semua orang.

Semua ini hanya menunjukan betapa relasi properti kapitalisme telah membebani perkembangan umat manusia. Untuk menyingkirkan rintangan kemajuan tersebut; untuk mengalihkan daya produksi umat manusia yang sangat besar kepada upaya pembentukkan dunia yang lebih baik untuk semua, kita harus menghancurkan sistem kapitalisme yang membusuk itu sendiri – sistem yang, apabila tidak dilawan, hanya akan terus menerus menghasilkan krisis dan musibah.

Tugas selanjutnya adalah untuk kelas pekerja – kelas yang sesungguhnya menemukan semua keajaiban teknologi ini dan yang sebenarnya mengoperasikannya – untuk bersatu, berorganisasi, dan menyapu puing-puing kapitalisme ke dalam tong sampah sejarah dimana ia seharusnya bertempat.


Diterjemahkan oleh Kawan Radhitya dari artikel asli di Socialist Appeal

Leave a comment