KODRAT MANUSIA?

Seri Belajar Sosialisme Ilmiah:

DUA: KODRAT MANUSIA?

Manusia itu egoistis, serakah, condong pada kekerasan. Itulah natur atau kodrat manusia. Kapitalisme lebih cocok dengan natur manusia. Sosialisme impian muluk belaka.

Begitulah para apologet (pembela) kapitalisme berkilah. Benarkah demikian?

human-nature-and-capitalismSebagai kaum Sosialis, kita sama sekali tidak menyangkal bahwa banyak orang yang egoistis, serakah, atau condong pada kekerasan. Lebih-lebih di zaman “modern” ini. Tapi bukan berarti sifat-sifat tersebut merupakan natur atau kodrat manusia. Manusia itu ‘kan makhluk sosio-historis. Cara berpikir dan bertindaknya dikondisikan oleh lingkungan sosial yang di dalamnya ia tumbuh dan dibesarkan. Keberadaan sosial menentukan kesadaran. Begitu kata Karl Marx.

Mari kita ambil contoh. Sebutlah seorang bocah. Dibesarkan di hutan hujan Amazon, ia akan tumbuh dengan memiliki nilai-nilai moral, perilaku, dan idea-idea tertentu. Sekarang andaikan bocah tersebut dibesarkan di tengah hiruk-pikuknya kota Jakarta. Apakah kiranya yang akan terjadi? Ya, kita akan mendapati seorang pribadi yang sangat berbeda.

Sekarang, misalkan Saudara lahir di bawah kekuasaan Kemaharajaan Aztek, atau di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Ho-ho-ho, Saudara bakal memiliki cara berpikir dan cara bertindak yang sangat berbeda, bukan?

Pakar biologi terkemuka, Stephen Jay Gould, menjelaskan basis fisiologis dari cakupan luas kebiasaan-kebiasaan dan tingkah laku:

Keunikan manusia terutama terletak di dalam otak kita. Keunikan itu diekspresikan dalam kebudayaan yang dibangun di atas dasar intelijensia kita, serta kuasa yang diberikan kepada kita untuk memanipulasi dunia. Masyarakat-masyarakat manusia berubah oleh evolusi budaya, bukan akibat dari perubahan biologis. Kita tidak mempunyai bukti bagi perubahan biologis dalam ukuran atau struktur otak sejak Homo sapiens muncul dalam catatan fosil … Semua yang telah kita lakukan sejak saat itu, yakni transformasi paling besar dalam kurun waktu yang paling singkat yang telah dialami oleh planet kita sejak kerak bumi mengeras hampir 4 milyar tahun yang lalu, adalah produk evolusi budaya … Pendeknya, basis biologis dari keunikan manusia mengantar kita untuk menolak determinisme biologis.

Karena masyarakat kita terus ber-evolusi, norma-norma sosial juga terus berubah. Hal-ihwal dulu dan sekarang tidak selalu sama. Sebutlah misalnya, para antropolog telah memperlihatkan bahwa selama ribuan tahun (yang berarti sebagian terbesar dari sejarah umat manusia!), tidak ada negara, tidak ada juga kelas-kelas sosial.

Antropolog Richard Lee menjelaskan:

Sebelum kemunculan negara dan ketidaksetaraan sosial, selama ribuan tahun manusia hidup di dalam kelompok-kelompok sosial yang didasarkan pada lingkungan kekerabatan berskala kecil; di dalamnya, lembaga-lembaga inti dari kehidupan ekonomi meliputi kepemilikan bersama alias kepemilikan kolektif atas tanah dan sumber-sumber daya, distribusi makanan secara merata dengan saling memberi dan menerima (generalized reciprocity), dan relasi-relasi politik yang relatif egalitarian.

Beberapa dari masyarakat-masyarakat yang bercorak komunistik ini masih eksis hingga sekarang. Misalnya, orang-orang !Kung di Namibia (Afrika barat daya) dan Botswana (kawasan tengah Afrika selatan). Lee hidup bersama dengan orang-orang !Kung. Ia mencatat:

Makanan tidak pernah dikonsumsi oleh satu keluarga saja: makanan selalu dibagi-bagikan di antara anggota-anggota kelompok atau perhimpunan … Tiap-tiap anggota perkemahan menerima suatu bagian yang pantas. … Prinsip generalized reciprocity telah dilaporkan berkenaan dengan para pemburu-peramu di setiap benua dan di setiap jenis lingkungan.

Karena kondisi-kondisi ekonomi dan sosial yang berbeda, kesadaran manusia juga berbeda. Kondisi-kondisi ekonomi dan sosial dalam masyarakat-masyarakat komunis primitif membentuk kesadaran manusia yang berbeda dengan masyarakat-masyarakat dengan modus produksi perbudakan, demikian juga yang feodal dan lebih-lebih yang kapitalis! Bukankah kenyataan ini merupakan sanggahan terhadap argumen tentang “kodrat manusia”?

Sekarang mari kita bayangkan 100 ekor kelinci yang ditempatkan di dalam sebuah kandang kecil. Pemiliknya menyediakan makanan yang hanya cukup bagi 25 ekor kelinci. Gila, memang. Bayangkan, apa yang bakal terjadi dengan kelinci-kelinci itu. Ah, mereka akan saling berebut makanan. Bahkan mungkin mereka akan saling bunuh agar bisa bertahan hidup. Bayangkan hal yang sebaliknya. Si pemilik memberi kelinci-kelinci itu makanan yang lebih dari cukup. Tidakkah kelinci-kelinci itu akan memiliki perilaku yang berbeda?

Sudah barang tentu, manusia bukan kelinci. Tapi bukankah seringkali kita menjumpai kenyataan yang hampir sama?

Saat ini kita hidup dalam masyarakat dengan modus produksi kapitalis. Sebut saja tatanan ekonomi-politik kapitalis, atau masyarakat kapitalis. Dalam masyarakat kapitalis, sudah tersedia potensi-potensi teknologis dan ekonomis untuk menghapuskan kelangkaan, kelaparan, dan kemelaratan. Tapi nyatanya kelangkaan kerap terjadi, sementara kelaparan merajalela dan kemelaratan menjangkit di mana-mana. Sementara sekian banyak orang bersusah-payah menyambung hidup dalam kemelaratan, segelintir orang bersenang-senang di atas tumpukan harta yang terkumpul dari akumulasi hasil penghisapan manusia oleh manusia.

Apa yang salah? Ini: potensi-potensi teknologis dan ekonomisnya sudah ada, tersedia, tetapi dalam genggaman segelintir orang tadi. Kaum kapitalis? Ya! Kelas borjuis? Itu nama lainnya!

Sebagai kaum Sosialis, kita tidak beranggapan bahwa manusia itu “kodratnya baik.” Kita tidak memandang manusia secara metafisik, melainkan secara dialektis. Manusia tidak terpisahkan dari konteks sosio-historisnya, manusia juga tidak luput dari proses sosio-historis. Sejarah dan pengalaman nyata telah dan terus memperlihatkan dengan cetha wela-wela bahwa “kodrat manusia” sangat fleksibel, bisa berubah, dan memang telah dan terus berubah!

Bila setelah revolusi sosialis masyarakat sanggup menyediakan perumahan yang baik, pangan yang baik, pekerjaan yang layak, pelayanan rumah sakit yang baik, pendidikan yang baik bagi tiap-tiap warganya, tidakkah cara berpikir, cara bertindak, dan tingkah laku manusia akan berubah? Bukan dalam semalam, tentu, melainkan berangsur-angsur.

Di bawah sistem yang bernama kapitalisme, manusia itu ibarat tumbuhan yang berupaya untuk mekar berkembang di sebuah gudang bawah tahan. Langka sinar matahari! Ya, di bawah sistem profit ini kita tidak memiliki cukup kesempatan untuk mengembangkan potensi kita. Tapi bayangkan bila kita hidup di dalam masyarakat dengan tatanan ekonomi-politik yang berbeda! Tidakkah kita akan memiliki cara berpikir, cara bertindak, dan perilaku yang berbeda? Ingat perkataan Marx, “Keberadaan sosial menentukan kesadaran.” Lalu bayangkan seorang bayi yang lahir, tumbuh, dan dibesarkan di sebuah dunia yang terbebaskan dari kelangkaan, kelaparan, kemelaratan, rasisme, ketidakadilan gender … Pendeknya, lahir, tumbuh, dan dibesarkan di dalam Masyarakat Sosialis!

Mungkin, bagi banyak orang teramat sulit untuk membayangkan sebuah masyarakat sosialis. Pasalnya, kita telah dikondisikan untuk hidup di bawah kapitalisme yang mendewakan persaingan (di balik ilusi semua punya kesempatan yang sama, padahal nyatanya tidak semua punya kekuatan yang sama karena hanya segelintir orang yang menggenggam kepemilikan, akses, dan kontrol atas potensi-potensi teknologis dan ekonomis). Kapitalisme, itulah satu-satunya yang kita ketahui. Tidak ada alternatif lain, kata gembong-gembong kapitalisme dan para intelektual yang mengabdi kepada mereka. Sebuah produk hegemonik dari para produsen ideologi pesanan kelas penguasa!

Tapi pertimbangkanlah nasihat James Cannon:

Jangan pernah membuat kekeliruan dengan berpikir bahwa apapun yang bertentangan dengan aturan-aturan dan etika kapitalisme adalah utopis, atau mimpi, atau absurd. Tidak, yang absurd adalah berpikir bahwa rumah gila ini permanen dan untuk selama-lamanya.


Diolah kembali oleh Pandu Jakasurya dari “What About Human Nature”, http://socialistorganizer.org/what-about-human-nature/

One comment

Leave a comment