Citra Revolusi

Seri Belajar Sosialisme Ilmiah

TIGA: CITRA REVOLUSI

Seperti Apakah yang Dinamakan Revolusi itu?

Revolusi itu isinya amuk-amukan, bakar-bakaran, gebuk-gebukan, pertumpahan darah. Rusuh, ngeri. Makanya, jangan sampai deh terjadi revolusi. Begitulah kiranya anggapan sementara orang tentang revolusi. Benarkan demikian?

image

Begini. Pertama dan terutama, revolusi adalah puncak sekaligus akibat yang tidak terelakkan dari seluruh periode krisis sosial yang semakin parah dan mobilisasi-mobilisasi massa yang semakin hebat. Ketika krisis sosial mencapati titik didih, jutaan rakyat jelata, orang biasa, yang sebelumnya tidak memiliki pengalaman politik, tumpah-ruah memenuhi panggung politik guna mencari suatu solusi atas persoalan-persoalan mereka yang semakin mendesak. Inilah yang kita maksud dengan revolusi. Revolusi bukan konspirasi atau komplotan dari segelintir orang radikal yang menyandang senjata!

Leon Trotsky, yang bersama-sama dengan V.I. Lenin dan Partai Bolshevik memimpin kaum buruh Rusia merebut kekuasaan pada Oktober 1917, menyatakan:

Ciri yang paling tidak bisa dibantah dari sebuah revolusi adalah keterlibatan langsung massa dalam peristiwa-peristiwa yang bersejarah. Dalam waktu-waktu yang biasa, negara – entah monarkis entah demokratis – meninggikan diri di atas bangsa; dan sejarah dibuat oleh para spesialis di bidangnya masing-masing: para raja, menteri-menteri, kaum birokrat, anggota-anggota parlemen, dan para wartawan. Tapi pada momen-momen yang krusial itu, ketika tatanan lama sudah tidak bisa lagi ditoleransi oleh massa, mereka merobohkan rintangan-rintangan yang telah meminggirkan mereka dari arena politik, menyingkirkan perwakilan-perwakilan tradisional mereka, dan dengan keterlibatan langsung mereka sendiri menciptakan dasar bagi sebuah rezim yang baru. Sejarah sebuah revolusi, pertama dari segalanya, adalah sebuah sejarah tentang massa yang masuk secara paksa ke dalam ranah kepenguasaan atas nasib mereka sendiri.

Ketika mayoritas luas rakyat pekerja bermobilisasi atas namanya sendiri, ilusi bahwa mereka tidak berdaya rontok sama sekali. Kelas penguasa tersudut ke posisi bertahan; mereka menjadi lumpuh karena krisis. Keyakinan bahwa tidak ada sesuatu yang mustahil bergelora di hati rakyat pekerja. Kegairahan yang gegap gempita memenuhi udara. Sebagaimana dikatakan Lenin, revolusi adalah “festival kaum tertindas.”

Dalam periode krisis revolusioner, pemogokan-pemogokan umum (yang dilakukan oleh seluruh kaum buruh dari suatu kota, bahkan seluruh negeri) bisa secara nyata mendemonstrasikan bahwa kelas buruh memiliki kekuatan yang sangat besar untuk mengelola masyarakat. Sebagai contoh, semasa pemogokan umum San Francisco 1934, balai-balai makan komunal dikelola oleh komite pemogokan yang diberi pasokan oleh seluruh kota.

Pembagian-pembagian lama bisa dibongkar dalam momen-momen yang bersejarah ini. Kaum buruh dan kaum muda dari jenis kelamin yang berbeda, dari latar belakang, kebangsaan, dan tradisi politik yang berbeda, bersatu dalam perjuangan. Dalam perkataan Karl Marx,

Revolusi niscaya tidak saja karena kelas penguasa tidak bisa digulingkan dengan cara lain, tapi juga karena kelas yang menggulingkannya bisa membersihkan diri dari semua kotoran zaman dan menjadi pantas untuk mendirikan masyarakat baru, hanya melalui revolusi.

Gelombang perlawanan yang sebelumnya tidak pernah terjadi membutuhkan sebuah organisasi tipe baru guna menyalurkan perjuangan: dewan-dewan buruh. Institusi-institusi demokratis massa akar rumput, dengan wakil-wakil yang dipilih langsung dan bisa di-recall oleh sesama rekan mereka di tempat kerja, adalah alat-alat perjuangan dan secara potensial merupakan organ-organ dari suatu kekuasaan yang baru. Dalam situasi-situasi revolusioner berlangsung di Abad XX yang silam, institusi-institusi ini muncul dengan berbagai nama: Soviet-soviet (di Rusia 1905 dan 1917), dewan-dewan pabrik (di Italia 1920), dewan-dewan buruh (di Jerman 1918, di Hungaria 1956), Asamblea Popular (di Bolivia 1971 dan 2003), cordones industriales (di Chile 1973), dan shora (di Iran 1979).

Kemunculan dewan-dewan buruh menggulirkan situasi “kekuasaan ganda” yang keras: negara kapitalis berhadap-hadapan dengan dewan-dewan buruh, yang tak lain dari embrio kekuasaan yang baru, kekuasaan buruh. Situasi ini tentu tidak bisa bertahan untuk selamanya; entah rakyat pekerja akan merebut segenap kekuasaan, atau rezim lama akan berhasil keluar dari krisis dan memaksakan kembali kekuasaan mereka.

Muncullah pertanyaan: bukankah kelas penguasa akan akan menggunakan tentara dan polisi untuk menghancurkan revolusi? Tentu saja. Tapi pertimbangkanlah ini: tentara, yakni para prajuritnya, berasal dari kalangan rakyat pekerja. (Para perwira, khususnya para jenderal, merekalah yang berasal dari kalangan penguasa). Pada saat-saat krisis revolusioner, pemberontakan prajurit lazim terjadi. Apakah Saudara akan menembak sahabat-sahabat dan anggota-anggota keluarga Saudara yang sedang berjuang demi perubahan sosial?

Dengan memenangkan para prajurit, kaum buruh bisa merebut kekuasaan secara damai. Revolusi Bolshevik, ya, Revolusi Oktober 1917, telah dengan cetha wela-wela memperlihatkannya! Bila pun ada letusan senjata, itu bukan senjata kaum Bolshevik, melainkan senjata dari para pengawal Istana Musim Dingin yang frustrasi lantara tak mampu mempertahankan rezim yang sudah tidak dikehendaki rakyat pekerja lagi. Nyatalah kiranya bahwa tidak seperti yang dibayangkan sementara orang, revolusi bukanlah soal amuk-amukan, bakar-bakaran, gebuk-gebukan, apalagi pertumpahan darah!

Manakala rakyat pekerja, dengan kepemimpinan kelas buruh, memenangkan revolusi, dimulailah tugas mulia membangun masyarakat baru, di atas dasar yang benar-benar bebas dan demokratis. Ditutuplah lembaran lama yang kelam, dibukalah lembaran baru yang gemilang dari sejarah umat manusia.


Diolah oleh Pandu Jakasurya dari http://socialistorganizer.org/what-does-a-revolution-look-like/

Leave a comment