Rosa Luxemburg Pejuang Revolusioner

Foto: Rosa Luxemburg (sumber: versobooks-prod.s3.amazonaws.com)

“Pada Rosa Luxemburg idea sosialis adalah suatu hasrat yang mendominasi dan perkasa, suatu hasrat yang sungguh-sungguh kreatif, yang berkobar-kobar tiada henti. Tugas besar dan ambisi yang begitu kuat dari perempuan yang menakjubkan ini adalah untuk menyiapkan jalan bagi revolusi sosial, untuk membersihkan langkah sejarah bagi sosialisme. Untuk mengalami revolusi, untuk berjuang dalam pertempuran-pertempurannya, itulah kebahagiaan tertinggi baginya. Dengan suatu kehendak, tekad, jiwa yang tanpa pamrih, dan devosi yang untuknya kata-kata terlalu lemah, ia mempersembahkan seluruh kesukaan dan segenap keberadaannya kepada Sosialisme, tidak hanya dalam kematiannya yang tragis, tetapi di sepanjang seutuh hidupnya, dari hari ke hari dan dari jam ke jam, melalui perjuangan-perjuangan dari banyak tahun. Ia adalah pedang yang tajam, nyala api yang hidup dari revolusi.” Clara Zetkin.

Pada malam 15 Januari 1919, dua revolusioner besar Sosialis gugur. Rosa Luxemburg dan Karl Liebknecht dibunuh secara brutal oleh pasukan paramiliter, yang bertindak menurut perintah-perintah dari pemerintahan Sosdem Jerman.

Saat kematian mereka, Rosa Luxemburg dan Karl Liebknecht adalah pemimpin-pemimpin kelompok Spartacus, sayap kiri dari gerakan buruh. Mereka telah memisahkan diri dari Partai Sosial Demokrasi Jerman (SPD) setelah partai tersebut mengkhianati Revolusi Jerman 1918. Pada Januari 1919, pemerintah Sosdem Friedrich Ebert sedang berupaya untuk membangun kembali sebuah Jerman kapitalis dengan berdampingan dengan kelas penguasa.

Kontrasnya, Luxemburg dan Liebknecht berjuang untuk sebuah revolusi Sosialis untuk membersihkan Jerman dari politisi-politisi korup, jenderal-jenderal penghasut perang, dan tukang-tukang catut kapitalis yang telah membuat negeri itu masuk ke dalam pembantaian Perang Dunia Pertama yang mengerikan. Sekarang Karl dan Rosa dikenang sebagai pahlawan-pahlawan revolusi, suatu inspirasi bagi kaum buruh, kaum muda, dan kaum perempuan yang berjuang melawan ketidakadilan.

Tulisan-tulisan dan aksi-aksi mereka sarat dengan pelajaran. Pembunuh-pembunuh mereka diingat sebagai orang-orang yang siap membantai kaum buruh Berlin untuk mempertahankan kekuasaan borjuis. Pengkhianatan mereka terhadap revolusi, secara ultimat, mendatangkan dekade-dekade kesenjangan, teror, dan perang di bawah kaum Nazi. Perjuangan Liebknecht dan Luxemburg melawan para pengkhianat dalam gerakan buruh dimulai jauh sebelum peristiwa-peristiwa Januari 1919 yang sangat menentukan itu.

Perjuangan itu dimulai di dalam SPD, beberapa tahun sebelum pecahnya Perang Dunia Pertama. Dalam tahun-tahun permulaan Abad XX, kapitalisme nampak siap untuk terus berekspansi. Kuasa-kuasa Eropa, pertama Inggris, disusul oleh Prancis, Jerman, dan Rusia telah menjalani perkembangan industrial dan komersial yang masif. Perusahaan-perusahaan, bank-bank, dan pemerintahan-pemerintahan – semuanya besar-besar – dari negeri-negeri ini telah meluas ke seluruh dunia.

Dalam pencarian akan pasar-pasar yang baru untuk barang-barang mereka, juga bahan-bahan mentah dan lahan-lahan investasi, Kuasa-kuasa Besar ini membagi-bagi dunia di antara mereka, mengeksploitasi sumber-sumber daya dan kerja di koloni-koloni. Pada saat yang sama, kapitalisme terus mengeksploitasi kelas buruh di seluruh Eropa. Kaum buruh telah menanggapi dengan serikat-serikat buruh, masyarakat-masyarakat kooperatif, dan partai-partai politik mereka sendiri. Idea-idea sosialis berkembang; kaum buruh tidak hanya menginginkan kesetaraan dan keadilan bagi semua, tetapi sejenis masyarakat baru di mana produksi akan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan alih-alih untuk meraup profit.

Partai Sosial Demokrasi Jerman (SPD) adalah partai massa kelas buruh pertama yang permanen dan terorganisir. Menyusul pencabutan undang-undang anti-sosialis pada 1890, SPD bekerja dengan basis legal di Jerman dan meraih suatu keberhasilan yang signifikan dalam pemilu-pemilu parlementer. SPD juga menjadi pusat Internasionale II, yang menghubungkan partai-partai sosialis dari negeri-negeri yang berbeda. SPD didirikan oleh Willhelm Liebknecht (ayah Karl Liebknecht) dan August Bebel. SPD memeluk idea-idea Marxis; ia berkomitmen untuk menggulingkan kapitalisme dan mendirikan sosialisme. Pada saat yang sama, SPD mengusahakan reforma yang urgen dibutuhkan kaum buruh: kondisi-kondisi kerja yang baik di kota-kota, kebebasan untuk berbicara, dan hak suara. Marx, Engels, dan para pemimpin awal partai-partai sosialis melihat perjuangan untuk reforma sebagai sarana untuk mempersiapkan kelas buruh bagi revolusi sosial untuk melawan kapitalisme, bukan sebagai pengganti revolusi. Mereka menyadari bahwa tanpa revolusi, semua reforma, sebaik-baiknya, akan terbukti temporer atau sementara. Reforma bisa dicabut kembali oleh para boss kapanpun dorongan untuk meraup profit menuntut serangan-serangan baru terhadap kaum buruh. Mereka juga menyadari bahwa negara para boss – badan-badan dari orang-orang bersenjata yang dibaktikan untuk mempertahankan properti kapitalis – tidak akan pernah mentoleransi reforma yang berangsur-angsur bertujuan mengakhiri sistem profit. Mereka akan memukul balik dengan kejam kelas buruh yang mengancam sistem ini.

Marx dan Engel juga berargumen bahwa sistem kapitalis secara tak terelakkan akan masuk ke dalam krisis. Tapi pada tahun-tahun permulaan Abad XX, banyak pemimpin partai-partai sosialis semakin mempertanyakan ajaran Marxisme ini. Kapitalisme sedang berekspansi, meluas ke seluruh dunia, dan perusahaan-perusahaan Eropa sedang meraup profit-profit yang besar. Pemerintah-pemerintah yang ada serta perusahaan-perusahaan besar sanggup mengadakan serangkaian reforma dan perbaikan-perbaikan bagi kelas buruh. Diperhadapkan pada keadaan-keadaan konkret ini, reforma kapitalisme, alih-alih penggulingan revolusionernya, mulai nampak sebagai suatu kemungkinan yang riil bagi sejumlah anggota SPD dan Internasionale II.

Perjuangan Melawan Revisionisme

Sayap “revisionisme” terang-terangan yang pertama di dalam SPD dipimpin oleh Eduard Bernstein. Bernstein meringkas revisinya atas teori Marxis sebagai berikut: “Tujuan akhir sosialisme, apapun itu artinya bukan apa-apa bagiku; adalah gerakan itu sendiri yang merupakan segala-galanya.”

Rosa Luxemburg, yang sudah dikenal sebagai seorang intelektual yang inovatif dan pembicara yang berbakat dalam SPD, tampil ke depan dalam perjuangan melawan Bernstein. Rosa dilahirkan pada 1871 di Polandia, yang saat itu menjadi bagian dari Kekaisaran Rusia. Sejak umur 16 ia telah terlibat dalam politik kelas buruh. Ia adalah anggota pendiri Partai Sosial Demokrasi Polandia dan Lithuania. Pada 1897 ia pindah ke Jerman untuk bekerja dalam SPD. Ia memasuki gelanggang perdebatan dengan antusias dan menjadi kritikus yang paling tajam atas serangan oportunis Bernstein terhadap “tujuan final.” Ia menulis sebuah buku, Social Reform or Revolution, yang hingga hari ini tetap merupakan pernyataan klasik tentang kasus revolusioner melawan reformisme.

Luxemburg berargumen bahwa, kendati penampakan-penampakan di permukaan, kapitalisme masih merupakan sebuah sistem yang terjangkit krisis, dan bahwa berupaya untuk reforma semata berarti menyesuaikan diri dengan kapitalisme itu sendiri: “Tidaklah benar bahwa sosialisme akan tercapai otomatis dari perjuangan harian kelas buruh. Sosialisme akan menjadi konsekuensi dari (1) kontradiksi-kontradiksi yang tumbuh dari perekonomian kapitalis dan (2) dari pengertian kelas buruh atas tidak terelakkannya penghapusan kontradiksi-kontradiksi ini melalui sebuah transformasi sosial.” Kepercayaan revisionis bahwa reforma bisa mengatasi kontradiksi-kontradiksi kapitalisme adalah sebuah ilusi.

Perjuangan serikat buruh, kendati vital, adalah sebuah “Kerja Sisifus.” Maksud Rosa, serikat-serikat buruh di bawah kapitalisme ditakdirkan untuk berjuang terus-menerus untuk sekadar mempertahankan upah dan kondisi-kondisi mereka, sementara langkah-langkah kapitalis seperti memperluas pasar kerja akan selalu menjatuhkan “batu” tersebut ke bawah, ke lembah lagi. Argumen-argumennya membuat marah para pemimpin partai dan serikat-serikat buruh yang lebih konservatif dan birokratis. Para pemimpin serikat buruh berupaya mengkarikaturkan argumen Luxemburg sebagai anti serikat buruh. Tapi Luxemburg jelas tentang pentingnya perjuangan serikat buruh: “kerja Sisifus ini tidak terelakkan bila buruh ingin memperoleh semua tingkat upah yang menjadi haknya dalam suatu situasi pasar kerja.” Ia hanya berargumen bahwa perjuangan serikat buruh tidak akan pernah cukup.

Mereka yang ada di posisi tengah di dalam partai seperti Karl Kaustky mulai menjauhkan diri mereka dari Luxemburg. Kendati menentang Bernstein pada level teoritik, Kautsky semakin tunduk kepada praktik reformis pimpinan SPD. Luxemburg menjadi salah seorang pemimpin yang diakui dari sayap kiri partai, bersama dengan sahabat seumur hidupnya, Clara Zetkin. Pekerjaan Zetkin sendiri dalam memobilisir perempuan kelas buruh untuk memperjuangkan sosialisme dan melawan penindasan atas mereka sendiri, membuatnya melawan kaum konservatif dalam pimpinan partai. Kedua perempuan ini tanpa takut dalam serangan-serangan mereka terhadap sayap kanan, dan di mana perlu, terhadap mereka yang berada di posisi tengah. Sebagai balasan, mereka menanggung sekian banyak serangan pribadi dan permusuhan.

Revolusi 1905 dan Pemogokan Massa

Bukti atas tumbuhnya perpecahan dalam SPD muncul dengan Revolusi Rusia 1905. Luxemburg menyambut gembira revolusi tersebut, bahkan menerjunkan diri ke dalamnya, baik secara praktis maupun dengan menyaring pelajaran-pelajaran yang bisa dipetik dari revolusi tersebut demi perjuangan-perjuangan di masa depan. Secara rahasia ia kembali ke Polandia-Rusia, di mana ia masih dicari oleh pihak berwenang. Kaum buruh Polandia yang terinspirasi oleh peristiwa-peristiwa di St. Petersburg, di jantung Kekaisaran Rusia, terlibat dalam sebuah gelombang pemogokan massa. Luxemburg menerjungkan dirinya ke dalam aktivitas revolusioner, dengan memproduksi sebuah koran partai bawah tanah.

Ketika gelombang revolusioner surut, Luxemburg ditahan dan dijebloskan ke dalam penjara. Setelah dilepaskan, akhirnya ia kembali ke Jerman. Pasca Revolusi 1905, Luxemburg berkonstrasi dalam menganalisis revolusi dan implikasi-implikasi internasionalnya. Ia mengembangkan idea-ideanya tentang nilai sentral pemogokan massa. Dalam keseluruhan periode 1905 pemogokan-pemogokan massa telah melumpuhkan Kekaisaran Rusia.

Luxemburg berargumen bahwa pemogokan-pemogokan massa adalah suatu bagian yang vital dalam perjuangan revolusi buruh. Ini membuatnya bentrok langsung dengan para pemimpin serikat buruh Jerman. Semua reformis yang menyedihkan ini menganggap semua pembicaraan tentang pemogokan massa sebagai “bermain dengan api.”

Buku Luxemburg, The Mass Strike, the Political Party and the Trade Unions menyerang dengan sehebat-hebatnya para pemimpin serikat buruh dan para pemimpin SPD yang bersekutu dengan mereka. Penolakan mereka terhadap pemogokan massa, kata Luxemburg, adalah bukti penolakan mereka terhadap aksi revolusioner yang spontan dari kelas buruh. Dalam praktik, penolakan ini menempatkan mereka di pihak para boss dan melawan kaum buruh dalam tiap-tiap krisis revolusioner.

Tidak dibutuhkan waktu lama untuk membuktikan bahwa Rosa benar. Dalam kurun waktu ini, perbedaan-perbedaannya dengan Kautsky menjadi sengit. Kautsky membela penggunaan pemogokan massa di atas kertas semata, tapi membuangnya jauh-jauh ke sebuah pertempuran untuk merebut kekuasaan di suatu negeri imajiner yang tak pernah ada dari suatu revolusi yang tak lagi benar-benar diyakininya sebagai sesuatu yang mungkin atau perlu. Ini merupakan suatu pertanda bahwa ia telah bergeser dari “posisi tengah” ke sayap kanan SPD. Dalam praktik di Jerman, Kautsky berargumen bahwa, dalam perjuangan memperluas hak suara, sebuah “kebijakan pengunduran” (policy of attrition) diperlukan.

Maksud Kautsksy, menghindari konfrontasi dengan kelas penguasa – dengan demikian menolak pemogokan dan agitas massa – dan menempuh suatu rute yang murni elektoral untuk mencapai demokrasi yang lebih besar. Luxemburg melihat dengan tajam ke mana jalan ini akan bermuara – reformisme – dan mengatakannya demikian, kendati kaum revolusioner, seperti Lenin, membela Kautsky terhadap suatu “penafsiran yang keliru” atas strategi pengundurannya. Baru belakangan Lenin sadar dan mengakui bahwa Luxemburg benar dalam penegasannya bahwa Kautsky sedang berakomodasi dengan sayap kanan. Kautsky dan kelompok tengah dalam SPD masih bisa membela ortodoksi Marxis dan mengakui keniscayaan revolusi secara abstrak, tapi dalam praktiknya mereka terombang-ambing dan sejalan dengan praktik reformis.

Luxemburg juga menyerang akar-akar teoretis dari oportunisme. Dalam bukunya, The Accumulation of Capital, ia berargumen bahwa jauh dari sanggup melanjutkan ekspansinya, kapitalisme ditakdirkan untuk mengalami krisis. Analisisnya memiliki kelemahan dan diserang oleh Lenin dan lain-lainnya, tapi tugas yang diembannya adalah suatu tugas yang vital. Tatanan dunia kapitalis sedang mulai ambruk. Tanpa bisa ditawar lagi Kuasa-kuasa Besar sedang bergerak menuju peperangan.

Membela Internasionalisme

Dalam konteks ini, sebuah perjuangan kunci dalam SPD dan Internasionale adalah mempertahankan internasionalisme kelas buruh. Rivalitas antara Kuasa-kuasa Besar sedang menjadi semakin intens. Rivalitas itu mulai pecah menjadi perseteruan terbuka pada peralihan abad, dengan Perang Boer pada 1899, yang mengukuhkan selera-selera yang haus darah dari imperialisme Inggris, dan Perang Rusia-Jepang pada 1905, yang memperlihatkan bahwa tiap-tiap bagian dari bola bumi telah menjadi suatu situs bagi bentrokan-bentrokan antar-imperialis. Pada 1904, Inggris dan Prancis membentuk apa yang dikenal sebagai “Entente Cordiale,” sebuah pakta yang jelas-jemelas bertujuan melawan Jerman. Di masing-masing negeri, propaganda sovinis dan militeris sedang tumbuh. Kaum sayap kiri dalam SPD, termasuk Luxemburg, Zetkin, dan Karl Liebknecht, terus-menerus memberikan peringatan tentang bahaya perang.

Dalam kongres dunia Internasionale II yang digelar di Stuttgart pada 1907, kekuatan-kekuatan revolusioner menang atas kaum oportunis. Bernstein dan para pendukungnya melancarkan serangkaian argumen reaksioner yang memperlihatkan betapa jauhnya mereka tunduk kepada imperialisme. Mereka mendukung reforma terhadap kebijakan kolonial, alih-alih mendukung dengan tegas perjuangan melawan penindasan kolonial. Kaum sayap kanan, seperti pemimpin SPD Vollmar, ingin memeluk idea tentang sebuah “tanah air” Jerman. Ia diikuti oleh yang lain-lain seperti Ebert dan, secara khusus, Gustav Noske, yang mendeklarasikan: “Kaum Sosial Demokrat tidak akan tertinggal di belakang partai-partai borjuis dan akan memanggul senapan mereka. Kami ingin Jerman dipersenjatai sebaik mungkin.” Resolusi yang diadopsi dalam Kongres tersebut menolak idea-idea sovinis itu. Resolusi tersebut menegaskan bahaya-bahaya dari perang yang semakin mendekat, meneguhkan akar-akarnya di dalam persaingan kapitalis dan men-sketsa-kan taktik-taktik partai-partai sosialis dalam melawan militerisme. Bagian-bagiannya yang terakhir dikonsep bersama oleh Lenin, Luxemburg, dan Martov: “Kongres berpendirian bahwa adalah kewajiban kelas-kelas pekerja, dan secara khusus perwakilan-perwakilan mereka di parlemen-parlemen, dengan menyadari karakter kelas dari masyarakat borjuis dan motif untuk melestarikan oposisi di antara bangsa-bangsa, untuk berjuang dengan segenap kekuatan mereka melawan langkah-langkah untuk mempersenjatai angkatan laut dan militer, dan menolak untuk memasok sarana untuk itu, juga untuk kerja pendidikan kaum muda kelas buruh dalam semangat persaudaraan bangsa-bangsa dan persaudaraan sosialisme, dan untuk melihat bahwa itu diisi dengan kesadaran kelas.

Kongres melihat dalam pengorganisasian demokratis atas angkatan bersenjata, dalam milisi populer alih-alih tentara reguler, suatu jaminan yang hakiki bagi pencegahan perang-perang agresif, dan untuk memfasilitasi penghapusan perbedaan-perbedaan di antara bangsa-bangsa. “Bila perang pecah, partai-partai dari Internasionle berikrar “untuk berusaha dengan segenap kekuatan mereka untuk mempergunakan krisis ekonomik dan politik yang parah yang disebabkan oleh perang untuk membangunkan rakyat dan dengan jalan itu mempercepat penghapusan kekuasaan kelas kapitalis.”

Tapi adalah satu hal untuk memenangkan resolusi, dan hal yang sangat berbeda untuk mengikat para pemimpin seperti Noske pada posisi internasionalis.

Kampanye untuk sebuah kebijakan anti-militeris yang konsisten, yang berpusat pada kaum muda, dikedepankan oleh Karl Liebknecht, kendati ditentang oleh para pemimpin SPD yang semakin reaksioner.

Pentingnya Sebuah Partai Revolusioner

Ketika cekikan birokrasi dan racun idea-idea sovinis menguat di dalam SPD, perjuangan kiri untuk membela prinsip-prinsip dan praktik revolusioner semakin intens. Tapi perjuangan ini dilakukan isu per isu. Bila kita telaah ke belakang, kita bisa melihat bahwa Luxemburg dan Liebknecht seharusnya melancarkan suatu perjuangan faksional yang jelas dan berupaya membersihkan kaum oportunis dari kepemimpinan partai.

Kampanye faksional tajam Lenin di dalam partai Rusia – dan penciptaan yang efektif dari sebuah partai terpisah yang termanifestasi dalam perpecahan antara kaum Bolshevik dan kaum Menshevik – dimaksudkan agar kaum Bolshevik bebas untuk memenangkan dukungan dalam kelas buruh demi kebijakan-kebijakan revolusioner yang konsisten.

Luxemburg memahami pentingnya sebuah partai revolusioner, tapi bukan sebuah partai tempur seperti partainya kaum Bolshevik. Ia menekankan pentingnya aktivitas spontan kelas buruh, pentingnya kapasitas kelas buruh untuk mendesakkan langkah dalam sebuah periode revolusioner, bertentangan dengan pentingnya peran partai dalam perjuangan revolusioner.

Pengalamannya dengan dampak yang melemahkan dari partai dan birokrasi serikat buruh di Jerman membuat pandangan-pandangannya bisa dipahami. Tapi pandangan-pandangannya berat sebelah, keliru, dan secara ultimat memiliki konsekuensi-konsekuensi yang fatal dalam Revolusi 1918/19. Luxemburg memahami cara idea-idea reformis mencengkeram kelas buruh dan perlunya untuk terus-menerus berpropaganda melawan idea-idea ini. Tetapi sebuah partai revolusioner perlu berbuat lebih dari sekadar pertempuran melawan idea-idea yang keliru. Partai revolusioner perlu menyatukan unsur-unsur terbaik, yang paling revolusioner dari kelas buruh di sekitar sebuah program bersama sehingga mereka bisa bertindak secara menentukan sebagai sebuah unit dalam suatu krisis revolusioner.

Massa bisa mendorong peristiwa-peristiwa ke depan dan melampaui pemimpin-pemimpin konservatif mereka pada poin-poin kunci. Tapi semata bersandar pada hal ini membawa kemenangan – mengabaikan peran kepemimpinan dalam mengarahkan aksi spontan terhadap suatu perjuangan yang sadar akan tujuan – adalah keliru.

Tiap-tiap kali spontanitas membawa perjuangan kelas ke suatu ketinggian yang baru, tiap-tiap kali ia mengintensifkan perjuangan ini ke titik didih, pertanyaan pun muncul: selanjutnya ke mana? Peran partai adalah mencocokkan energi dan kreativitas massa dengan suatu program yang menjawab pertanyaan ini dan suatu organisasi yang cakap mengubah jawaban itu menjadi sebuah gerak aksi yang praktis.

Tapi ketika jawaban keliru atas pertanyaan, di mana kemudian, kemenangan dalam barisan gerakan massa spontan konsekuensi-konsekuensinya selalu petaka, yang bermuara entah pada surutnya gerakan atau pada penindasannya secara paksa oleh suatu musuh kelas yang dibantu oleh para pengkhianat reformis. Ketiadaan sebuah partai dalam kasus-kasus seperti itu adalah kunci untuk memahami mengapa begitu banyak kebangkitan spontan kaum buruh telah mengalami kekalahan.

Perang dan Revolusi

Ketika PD I pecah pada 1914, derajat pembusukan yang sesungguhnya yang terjadi dalam Internasionale II terungkap. Perjuangan panjang Liebknecht dan Luxemburg melawan militerisme dalam masyarakat dan oportunisme dalam partai tidak bisa mencegah keruntuhan Internasionale II.

Satu demi satu, partai-partai dari Internasionale II jatuh di belakang kelas penguasa mereka sendiri – pengecualian yang paling signifikan adalah partai Rusia. Pada 4 Agustus 1914, SPD memberikan suara untuk mendukung kredit-kredit perang, berikrar untuk mendukung upaya perang imperialis Jerman dan menyeru kaum buruh Jerman untuk membantai saudara-saudara dan saudari-saudari mereka di negeri-negeri lain demi kepentingan-kepentingan profit para bos Jerman.

Liebknecht, yang seorang deputi Reichstag, memimpin perjuangan melawan pemungutan suara untuk kredit-kredit perang di dalam kaukus partai, tapi menaati disiplin partai dan memberikan suara bersama dengan yang lain. Ini adalah satu kali dan satu-satunya ia melakukan sesuatu yang mendukung perang. Dalam bulan-bulan dan tahun-tahun berikutnya, Liebknecht, Luxemburg, dan Zetkin berupaya menghimpun gerakan-gerakan buruh untuk menentang perang. Banyak dari mereka yang berisiko dipenjara karena melancarkan perjuangan melawan perang imperialis adalah kaum buruh muda yang dilatih oleh organisasi kaum muda.

Organisasi-organisasi perempuan yang dibangun oleh Zetkin juga memasok banyak pendukung bagi kaum internasionalis sejati di dalam partai. Pada Desember 1914, Liebknecht adalah suara yang sendirian dan satu-satunya suara di Reichstag yang melawan pembaruan kredit-kredit perang. Ia menggunakan mimbar Reichstag untuk menyeru kepada kaum buruh agar mereka menentang perang. Ketika pembunuhan yang mengerikan bergerak memasuki tahun pertama kemudian tahun yang kedua, penolakan mulai tumbuh. Pada 1916, Liebknecht adalah yang pertama berpidato kepada sebuah demonstrasi publik melawan perang, di jantung Berlin. Ia berseru, “Akhiri perang! Akhiri pemerintahan!”

Tak terelakkan polisi menghentikan pidatonya dan menjebloskannya ke dalam penjara. Tapi kata-katanya menjalar ke seluruh Jerman bahkan ke seluruh Eropa. Semboyannya, “Musuh utama ada di dalam rumah” menjadi batu ujian aksi revolusioner melawan perang. Luxemburg menghabiskan sebagian besar waktu perang di dalam penjara di mana kesehatannya sangat memburuk. Tetapi kendati terkadang ia mengalami depresi dan kepayahan, ia mempertahankan optimisme revolusioner dan menyelundupkan keluar analisisnya tentang perang. Baik Luxemburg dan Liebknecht menyadari bahwa partai yang lama dan internasionale yang lama telah mati – sebuah “mayat yang berbau busuk”, sebagaimana Luxemburg menyebut Sosdem.

Karyanya, Junius Pamphlet, menghimpun kaum buruh tidak saja untuk menentang perang, tapi pada keniscayaan revolusi sosialis. Perang telah memberi bentuk kepada prediksi Engels bahwa masyarakat kapitalis menyajikan dilema antara suatu pencapaian menuju sosialisme atau suatu langkah balik menuju barbarisme. Perang adalah neraka dunia bagi kaum buruh yang saling bantai; untuk mengakhirinya, kaum buruh harus mengibarkan semboyan “Kaum buruh dari semua negeri, bersatulah!” dan berpaling kepada musuh mereka yang sesungguhnya, kelas penguasa.

Memperjuangkan semboyan ini, Luxemburg dan Liebknecht menarik fragmen-fragmen Kiri ke dalam Spartakusbund. Eks pendamping Rosa, Leo Jogiches, memikul beban memimpin organisasi melalui periode yang luar biasa sulit ini.

Ketika perang terus berkecamuk, kaum Spartak(i)s mendapatkan dukungan yang terus bertambah. Luxemburg bergabung dengan Lenin dalam menyerukan pembentukan Internasionale yang baru, dan pada 1917, ia menyambut gembira Revolusi Rusia. Ia memiliki perbedaan-perbedaan dengan kaum Bolshevik, tapi segera melihat bahwa tidak saja Bolshevik sedang membangkitkan “keselamatan kehormatan sosialisme internasional”, tapi bahwa Bolshevik harus dilihat sebagai yang pertama dari serangkaian revolusi buruh di seluruh Eropa. Pada 1918, ini tampak sebagai suatu kemungkinan yang riil. Serangkaian protes dan pemberontakan buruh di angkatan bersenjata melanda seluruh Jerman, yang memuncak pada November 1918 dengan keruntuhan upaya perang. Dewan-dewan prajurit dan buruh didirikan. Dibebaskan dari penjara, Liebknecht menerjunkan dirinya ke dalam pusaran, bergerak secara rahasia dari satu rapat ke rapat lain. Ia segera terpilih ke dalam komite pelayan toko revolusioner.

Rosa juga dilepaskan dan langsung melangkah ke dalam pusaran revolusi, kendati kesehatan yang merosot. Pemogokan-pemogokan massa dan demonstrasi-demonstrasi pada 9 November memaksa Kaiser turun takhta. Revolusi Rusia adalah suatu menara api bagi kelas buruh dan sebuah peringatan yang dahsyat bagi borjuasi. Tapi di Jerman, di pihak lain, ada para pemimpin SPD. Dengan perkataan, “Saya membenci revolusi seperti dosa maut,” ketua SPD Friedrich Ebert mengambilalih jabatan Kanselir. SPD membentuk sebuah pemerintahan yang berkomitmen untuk melindungi para bos dari revolusi buruh. Dalam pekan-pekan berikutnya, dengan kekuasaan ganda yang ada di antara suatu kelas buruh yang bangkit melawan dan sebuah rezim borjuis yang goyah, kaum Spartakis bekerja tanpa kenal lelah untuk memenangkan kepemimpinan atas kelas buruh dan mendorong maju revolusi sosialis.

Tapi bagian-bagian dari kaum buruh masih mencari pemimpin-pemimpin lama mereka. Pada 10 November, Ebert dijadikan kepala pemerintahan revolusioner oleh Dewan Buruh dan Prajurit Berlin. Pada hari yang sama, ia bersekongkol dengan angkatan bersenjata untuk memulihkan ketertiban. Luxemburg dan Liebknecht meluncurkan koran harian, Die Rote Fahne (Bendera Merah). Luxemburg memaparkan tugas-tugas revolusi dan pilihan-pilihan yang menghadapi kaum buruh revolusioner: “Atau kelanjutan kapitalisme, perang-peang baru, dan suatu kemerosotan yang sangat awal ke dalam chaos dan anarki, atau penghapusan eksploitasi kapitalis.

Partai Komunis Jerman (KPD) dibentuk di sekitar inti dari Spartakusbund pada Desember 1918. Tapi sebelum KPD memiliki waktu untuk mengkonsolidasikan dirinya dan meluncurkan suatu tantangan baru terhadap para pengkhianat sosdem, pengkhianat-pengkhianat itu membenamkan revolusi ke dalam darah. Pemerintahan sosdem sayap kanan mengerahkan sebuah pasukan bersenjata reaksioner yang terdiri dari pasukan-pasukan yang loyal dan Freikorps (sebuah milisi reaksioner yang terdiri dari para eks prajurit, banyak di antaranya kemudian bergabung dengan geng-geng militernya Hitler).

Gustav Noske, yang pernah mendeklarasikan dukungannya kepada tanah air di gedung konferensi SPD, sekarang memproklamirkan dirinya “anjing polisi” utama dalam peperangan melawan kaum Spartakis. Ebert, Noske, dan seluruh Kanan SPD meluncurkan suatu perang propaganda yang tiada tara, menuduh Luxemburg dan Liebknecht menarik kaum buruh biasa ke dalam pertumpahan darah yang baru.

Hari-hari Terakhir

Di hadapan serangkaian provokasi, para pemimpin revolusioner, bersama dengan Karl Liebknecht, menjadi yakin mereka harus memberikan tanggapan dan menggelar langkah untuk menggulingkan pemerintah. Luxemburg yakin bahwa kaum buruh revolusioner dan KPD belum cukup kuat untuk sebuah konfrontasi yang sedemikian menentukan.

Ia memahami bahwa banyak buruh masih menggantungkan harapan kepada SPD. Tapi ia menyimpulkan bahwa kaum komunis tidak memiliki alternatif selain menaruh diri mereka di pucuk perlawanan. Dalam beberapa hari terakhir hidupnya, artikel brilyan Rosa untuk Rote Fahne berkonsentrasi pertama pada perlunya aksi yang menentukan dan, ketika Sayap Kiri mengetatkan cengkeramannya, pada upaya mengasimilasikan pelajaran-pelajaran dan bersiap untuk fase perjuangan berikutnya.

Kaum Spartakis dihancurkan; perlawanan mereka prematur dan tak dipersiapkan dengan baik. Tapi dibandingkan dengan para pengkhianat reformis dan para pengecut yang menyedihkan yang berhimpun di sekitar apologis sayap kanan, Kautsky, kaum Spartakis adalah raksasa-raksasa revolusioner, suatu ikrar bagi masa depan. Suatu ikrar yang akan dihormati oleh generasi-generasi baru kaum revolusioner muda dalam tahun-tahun yang akan datang. Tetapi kekalahan mereka memungkinkan Kanan untuk menggelar tindakan ofensif yang habis-habisan. Reformisme melepaskan anjing-anjing perangnya: para Freikorp. Mereka memuaskan diri dalam kegilaan berdarah melawan kaum Kiri.

Dan dengan kejam mereka memburu Luxemburg dan Liebknecht. Pada 15 Januari 1919, kedua pemimpin itu ditangkap dan dibawa untuk “diinterogasi.” Faktanya mereka langsung dibawa untuk dibunuh. Liebknecht dipukuli dan ditembak di punggungnya, sehingga para penangkapnya bisa mengklaim bahwa ia “ditembak karena berusaha melarikan diri.” Kepala Luxemburg dihantam dengan popor senapan, kemudian ditembak kepalanya dan tubuhnya dilemparkan ke dalam sebuah selokan.

Warisan Luxemburg

Menjelang penangkapannya, Rosa menulis artikelnya yang terakhir, “Order Reigns in Berlin.” Artikel ini tidak saja menganalisis alasan-alasan bagi kekalahan, tetapi juga memaparkan kepercayaannya pada kemenangan terakhir. Artikel ini memperlihatkan bagaimana “Order” yang dibanggakan oleh para pemimpin sosdem yang berkhianat akan berumur pendek saja menurut kodratnya:

‘Ketertiban berjaya di Berlin!’ Order reigns in Berlin!’ Kalian antek-antek yang bodoh! Ketertibanmu dibangun di atas pasir. Besok revolusi akan memunculkan kepalanya lagi dan untuk membuatmu ngeri akan memproklamirkan, dengan sangkakala yang nyaring: ‘Dulu saya ada, sekarang saya ada, dan saya akan ada!’

Jam-jam terakhir Luxemburg, seperti seluruh hidupnya, adalah suatu inspirasi yang abadi bagi kaum buruh di mana saja. Ingatan kepadanya telah diinjak-injak baik oleh lawan-lawannya – buku-buku teks sejarah masih merujuk pada “perlawanan Spartakis” sebagai suatu ancaman terhadap demokrasi – dan oleh orang-orang yang kelihatan sebagai para pendukungnya. Para ahli waris tradisi-tradisi sosdem saat ini melupakan peran yang haus darah dari Ebert and Noske.

Kaum sosdem masa kini suka mengklaim bahwa Rosa Luxemburg adalah lawan dari Bolshevisme, kendati dukungannya yang penuh semangat terhadap Revolusi Bolshevik. Mereka membalikkan kelemahan dalam politiknya – kegagalannya untuk memahami perlunya sebuah partai tempur revolusioner, penyandarannya yang berlebihan kepada aktivitas spontan kelas buruh serta kecurigaannya terhadap disiplin partai kaum Bolshevik – menjadi dalih bagi skema-skema reformis mereka sendiri yang menyedihkan, sikap pengecut mereka sendiri, serta kegagalan mereka sendiri untuk berkonfrontasi dan bertarung dengan musuh kelas dengan metode-metode revolusioner.

Rosa membuat kekeliruan-kekeliruan – sebagaimana juga setiap revolusioner besar melakukannya – tapi reformisme dan sikap pengecut sama sekali asing baginya. Rosa akan dengan tak mengenal belas kasihan bersikap kritis terhadap para “pendukungnya.” Mereka bukan kaum pacifis atau kaum anti-Bolshevik. Ia adalah seorang komunis revolusioner, yang dibunuh karena komitmennya yang tak pernah mati terhadap kelas buruh dan perjuangannya untuk menggulingkan kapitalisme. Kematiannya adalah suatu dakwaan baik atas kapitalisme maupun kaum reformis dalam gerakan buruh yang membela kapitalisme.

Rosa gugur dalam perjuangan. Kematiannya juga mendemonstrasikan suatu spirit keberanian dan perlawanan, spirit yang telah hidup dari generasi ke generasi kelas buruh dan kaum militan revolusioner. Tidak ada kapitalis yang pernah menemukan suatu cara untuk membunuh spirit ini, dan tidak ada kapitalis yang pernah. Itulah sebabnya kaum kapitalis hidup dalam ketakutan atas masa depan sistem mereka, sementara kaum buruh revolusioner hidup dalam pengharapan yang optimistis atas masa depan mereka. ***

 


Diterjemahkan oleh Pandu Jakasurya (2 Februari 2016) dari judul asli: Rosa Luxemburg – Revolutionary fighter

http://www.fifthinternational.org/content/rosa-luxemburg-revolutionary-fighter

 

One comment

Leave a comment